Konsep Keadilan dalam Syariat Poligami Menurut Al-Quran
Pendahuluan
Poligami adalah bagian dari syariat Islam. Islam membolehkan seorang suami untuk menikah dengan empat wanita dalam satu waktu. Hal ini Allah sebutkan dalam Al-Qur’an,
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.“ (QS. An-Nisa’: 3)
Salah satu syarat yang harus dipenuhi ketika akan menikah dengan lebih dari satu istri adalah bersikap adil. Allah memerintahkan keadilan dalam setiap perkara. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Bahkan, adil itu wajib dalam setiap perkara kepada siapa saja, sampai-sampai kepada orang yang kita benci dan tidak kita sukai. Allah Ta’ala berfriman,
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.“ (QS. Al-Maidah: 8)
Jika bersikap adil adalah merupakan kewajiban, bahkan kepada orang yang kita benci, maka lebih-lebih lagi harus kita terapkan kepada orang yang kita cintai. Di antaranya adalah bersikap adil kepada para istri. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)
Tafsir surah An-Nisa’ ayat 3
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.“ (QS. An-Nisa’: 3)
Dalam ayat ini, Allah membolehkan untuk menikahi empat wanita dengan syarat bisa berlaku adil. Ini menunjukkan bahwa adil merupakan perintah yang wajib bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adil menjadi syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Adapun jika tidak mampu, maka hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak wanitanya sja,
Mengenai ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa sekiranya engkau takut ketika berpoligami tidak bisa berlaku adil terhadap mereka, seperti yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.”
Barangsiapa yang takut tidak bisa berlaku adil, hendaknya dia cukup dengan satu istri atau budak perempuannya saja, sehingga tidak ada kewajiban untuk berlaku adil kepada mereka. Akan tetapi, berlaku adil kepada mereka hukumnnya mustahab (sunah). Bagi yang melakukan, maka mendapat kebaikan dan tidak berdosa bagi yang tidak melakukannya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan, “Walaupun demikian, poligami dibolehkan baginya apabila ia merasa mampu untuk tidak berlaku zalim dan aniaya serta yakin dapat memenuhi hak-hak mereka semua. Namun apabila ia takut dari hal-hal tersebut, maka sebaiknya ia mencukupi hanya dengan seorang istri saja atau hanya dengan budak wanitanya, karena ia tidak wajib untuk membagi malam bagi budak wanitanya tersebut. “Yang demikian itu,” yaitu mencukupkan hanya dengan seorang istri atau dengan budak wanita, ”adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya”; yaitu tidak berbuat zalim.”
Beliau melanjutkan, “Ini menunjukan bahwa seorang hamba yang menghadapkan dirinya kepada suatu perkara yang ditakuti bahwa ia akan melakukan kezaliman, aniaya, dan tidak menunaikan kewajiban -walaupun perkara itu adalah suatu hal yang mubah-, maka seyogyanya ia tidak melakukan hal itu. (Taisiirul Kariimir Rahman)
Ketika menafsirkan firman Allah (فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة), Syekh Abu Bakar Al-Jazairi rahimahullah menjelaskan bahwa Allah menginginkan apabila ada seorang mukmin yang khawatir bahwa dia tidak akan berlaku adil di antara istri-istrinya karena kelemahannya, maka hendaknya dia mencukupkan dengan satu istri (saja) dan tidak menambahkan yang lain, atau dia mencukupkan dengan budak wanita yang dia miliki. Karena hal ini lebih dekat dengan perbuatan yang tidak diperbolehkan baginya, yaitu menzalimi istrinya. (Aisarut Tafaasir)
Tafsir surah An-Nisa’ ayat 129
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 129)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil kepada para istrinya. Apakah yang dimaksud “adil” dalam ayat ini? Berikut akan disebutkan beberapa penjelasan dari para ulam ahli tafsir.
Ath-Thabary rahimahullah menjelaskan firman Allah di atas bahwa laki-laki tidak akan bisa untuk berlaku adil kepada beberapa istri dalam urusan cinta yang ada dalam hati. Karena perkara cinta itu masalah hati dan seseorang tidak bisa mengatur apa yang ada di dalam hati karena itu di luar kemampuannya. (Jaami’u al Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’an)
Al-Qurthuby rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Allah telah menginformasikan kepada kita tentang peniadaan kemampuan dalam bersikap adil kepada para istri; dan yang dimaksud adalah kecenderungan fitrah dalam cinta, jimak, dan kecondongan hati untuk mencintai. Allah menggambarkan kondisi manusia bahwa mereka berdasarkan (fitrah) penciptaan mereka, tidak memiliki (kemampuan mengatur) kecenderungan hati mereka terhadap satu sama lain. Itulah sebabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ هَذِهِ قِسْمَتِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
“Ya Allah, ini adalah pembagianku yang aku mampu. Maka janganlah Engkau cela aku dalam perkara yang Engkau mampu dan tidak aku mampui.” (Al-Jaami’ li Ahkaami al-Qur’an)
Allah berfirman (yang artinya), {Dan kamu tidak akan bisa berlaku adil di antara wanita} yaitu, kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara para istri dalam perkara cinta dan kecenderungan hati. (Tafsir Al-Baghawi)
Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa Allah telah mengabarkan kepada kita tentang peniadaan kemampuan suami untuk melakukan keadilan terhadap para istri dalam bentuk tidak condong kepada istri yang dicintai, dan juga dalam masalah cinta dan benci. Maka ini semua merupakan sifat kemanusiaan dalam arti tidak bisa dikuasai oleh hati. Asumsi ini berdasarakan hukum kemanusiaan yang tidak bisa menguasai hati dan dalam hal ini tidak mampu jiwa ini berlaku adil. (Fathul Qadir, karya Asy-Syaukani)
Syekh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah menjelaskan bahwa Allah mengabarkan bahwa para suami tidak akan mampu dan bukan di atas kuasa mereka untuk memberikan keadilan yang sempurna di antara istri-istri mereka, karena adil mengharuskan kecintaan secara merata, naluri yang sama rata, kecenderungan hati kepada mereka yang sama rata, kemudian melakukan hal yang menjadi tuntutan itu semua. Namun hal seperti ini adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Karena itulah, Allah mengampuni apa yang tidak mampu mereka lakukan dan melarang dari perkara yang mungkin dilakukan.
Adapun maksud firman Allah (فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ), “Janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, yaitu janganlah kalian condong dengan kecenderungan yang berlebihan, di mana kalian tidak memenuhi hak-hak yang wajib untuk mereka. Akan tetapi lakukanlah menurut kesanggupan kalian dari keadilan itu. Sehingga nafkah, pakaian, pembagian hari, dan semacamnya, wajib atas kalian untuk berlaku adil dalam perkara tersebut di antara mereka. Berbeda dengan perkara cinta dan kenikmatan hubungan intim atau semacamnya. (Taisiirul Kariimir Rahman)
Kompromi makna dua ayat yang seolah bertentangan
Jika kita perhatikan dua ayat di atas, seolah-olah keduanya saling bertentangan. Ayat yang pertama memerintahkan untuk berbuat adil bagi yang hendak berpoligami, sementara ayat kedua menyatakan bahwa manusia tidak akan mampu berlaku adil.
Jika kita perhatikan penjelasan ulama tafsir di atas mengenai dua ayat ini, maka perintah adil dalam surah An-Nisa’ ayat 3 maksudnya adalah adil dalam perkara-perkara yang memang mampu dilakukan oleh manusia untuk melakukannya secara adil, seperti pemberian nafkah, pembagian hari, pemberian pakaian, dan lain-lain. Sedangkan penafian sikap adil dalam surah An-Nisa’ ayat 129 yaitu adil dalam masalah yang di luar kemampuan manusia, yaitu adil dalam masalah hati, seperti kecintaan, syahwat, dan sebagainya.
Disebutkan bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwasanya tidak wajib sama terhadap para istri dalam masalah cinta karena itu di luar kemampuan manusia. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibandingkan istri-istri beliau yang lain. Dari sini bisa diambil faidah juga bahwa tidak wajib sama dalam masalah hubungan intim, karena hal tersebut erat kaitannya dengan kecintaan yang merupakan masalah hati. (Badzlu Masaratil Akhowaati bi Ta’addudi az-Zaujaati)
Konsep keadilan dalam poligami
Konsep keadilan dalam poligami sudah diatur dalam Islam. Perkara yang wajib adil dalam poligami yaitu:
Dalam pembagian hari
Maksudnya, pembagian hari di antara para istri, yaitu memberikan hak istri untuk menginap agar bisa menemani dan membersamainya. Dalil dari Al-Qur’an adalah perintah berbuat adil dalam surah An-Nahl ayat 90 yang sudah disampaikan di atas. Pembagian hari di antara para istri adalah termasuk keadilan yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut. Dalil Al-Qur’an yang lain adalah firman Allah,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.“ (QS. An-Nisa’: 19)
Maksudnya adalah pergauilah dengan sesuai kepatutan dan kebiasaan masyarakat dan syariat. Bukan termasuk kebiasaan di masyarakat membagi jatah istri A dua malam, sedangkan istri B hanya satu malam saja. Adapun dalil dari hadis adalah hadis riwayat Abu Dawud mengenai wajibnya berlaku adil kepada para istri. Pembagian ini berlaku baik ketika istri sakit ataupun haid. Adapun jika sedang nifas, maka mayoritas ulama menjelaskan bahwa kondisi nifas dikecualikan dari mendapat jatah pembagian hari. (Asy-Syarhu al-Mumti’)
Dalam pemberian nafkah makan dan pakaian
Adil dalam pemberian nafkah dan pakaian yaitu dengan memberikan kepada setiap istri sesuai dengan kebutuhan untuk dirinya dan anak-anaknya secara layak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika haji Wada’,
ولهُنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهن بالمعروف
“Hak mereka yang menjadi kewajiban kalian, memberi nafkah makanan dan pakaian sesuai ukuran yang sewajarnya.” (HR. Muslim no. 3009)
Dalam menyediakan tempat tinggal
Wajib menyediakan tempat tinggal untuk para istri berdasarkan firman Allah,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.“ (QS. Ath-Thalaq: 6)
Menurut Ibnu Hazm rahimahullah, wajib untuk menyediakan rumah bagi setiap istri sesuai kemampuan suami.
Dalam pemberian hadiah
Maksudnya adalah pemberian hadiah di luar pemberian yang wajib. Para ulama berselisih pendapat apakah harus sama dalam memberikan hadiah. Namun pendapat yang tepat adalah tetap harus adil dalam masalah hadiah dan pemberian di luar nafkah wajib. Syekh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang benar, hukumnya wajib untuk tetap adil di antara para istri dalam setiap perkara yang mampu. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih) (Lihat Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati, karya Khalid bin Ibrahim As-Shaq’aby)
Ancaman bagi laki-laki yang tidak adil dalam poligami
Kebalikan dari sikap adil adalah zalim, yang merupakan perbuatan yang telah Allah haramkan untuk diri-Nya sebagaimana firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian.“ (HR. Muslim)
Oleh karena itu, terdapat ancaman yang sangat keras khususnya bagi yang melakukan poligami dan tidak berbuat adil kepada para istrinya. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya berlaku adil adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa saja yang memiliki dua orang istri, lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” (HR. Abu Dawud, shahih)
Hadis ini menujukkan dalil penekanan atas wajibnya adil di antara para istri dan haramnya berbuat zalim, yaitu tidak adil kepada para istri tersebut. (Ahkaamun wa Taujiihaatun fii Ta’addudi az-Zaujaati)
Kesimpulan
Adil adalah syarat mutlak bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Yang dimaksud adil di sini adalah adil dalam perkara yang mampu dilakukan, seperti masalah nafkah dan pakaian, tempat tinggal, dan pembagian hari (untuk bermalam). Adapun berkaitan dengan rasa cinta dan masalah hati, maka tidaklah harus sama karena hal itu di luar kehendak dan kemampuan manusia. Terdapat ancaman yang sangat keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak berbuat adil kepada para istrinya. Adapun yang berkaitan dengan rasa cinta, maka hal ini tidaklah sama karena merupakan pengaruh hati, sementara seseorang tidak bisa secara mutlak menguasai hatinya, karena semua berada dalam kehendak Allah.
***
Penulis: Adika Mianoki
Artikel Muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/109039-konsep-keadilan-dalam-syariat-poligami-menurut-al-quran.html